Tuesday, October 20, 2015

Menilai NAWACITA Jokowi – JK Dalam 360 Hari

Joko Widodo (sumber : www.harsindo.com)




Banyak yang bilang, jika waktu 360 hari tidak bisa dijadikan tolok ukur pasti untuk menilai sebuah keberhasilan. Kita bierbicara sebatas itu dulu. Akan tetapi, dalam kurun waktu 1 tahun itulah, dunia pendidikan menguji dan memberi nilai raport pada siswanya. Terlepas mampu atau tidak, dua warna tinta, merah dan biru atau hitam sudah disiapkan untuk mengisi nilai raport. Nah, sepertinya tidak ada salahnya juga jika kita sebagai rakyat melakukan hal yang sama untuk menilai kinerja pemerintah selama setahun.

Setahun pemerintahan Jokowi-JK ramai dibicarakan, bahkan banyak lembaga, aktifis, politisi dan pengamat hingga mahasiswa saling beradu data dan nilai dengan para pendukung pemerintah. Intinya, masing-masing fihak, berseberangan dan tidak, mempunyai landasan dan alasan sendiri dalam mem-publish “penilaian” mereka. Perang data dan argumen pun tak bisa dihindarkan.

Rezim Jokowi-JK yang terkesan “tidak mau” dibandingkan atau bahkan mengakui keberhasilan para rezim pendahulunya, selama setahun ini dengan bangga menyuarakan program unggulan yang dikemas dalam NAWACITA. Namun, apakah NAWACITA mampu memulihkan kondisi negara dan rakyat Indonesia, yang dikatakan pendukung rezim Jokowi-JK sebagai hasil warisan rezim pendahulunya menunjukkan perubahan perbaikan ? Bergembiralah kita jika memang terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, menjadi hak kita pula jika mengatakan banyak ketidakberesan selama satu tahun Jokowi-JK memegang tampuk pemerintahan. Namun yang pasti, menurut omongan mereka yang dekat dengan lingkaran penguasa, dan tentunya wajar juga, jika waktu setahun belum bisa dijadikan tolok ukur pencapaian sebuah keberhasilan tatanan pemerintahan.

Sejak awal menduduki kursi pemerintahan, NAWACITA seolah menjadi senjata ampuh untuk membenahi Indonesia. Nah, dari NAWACITA itulah kita jadikan landasan untuk mengukur keberhasilan Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan selama setahun ini.

Jokowi - JK berjanji di depan ratusan juta rakyat Indonesia, akan melindungi, memberi rasa aman kepada segenap bangsa dan seluruh warga negara. Menciptakan keamanan nasional dan pembangunan pertahanan negara dengan kepentingan nasional sebagai landasannya. Atau lebih lengkapnya yang tercantum dalam NAWACITA : Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Jujur, mungkin hanya orag berpendidikan tinggi, atau hanya tim perumusnya yang mampu memahami makna program tersebut. Mengingat bahasa yang digunakan sangat rumit untuk diterjemahkan masyarakat awam. Yang pasti, menurut pemahaman saya, negara “berniat” memberikan rasa aman bagi seluruh warga negaranya.

Sungguh mulia niatan tersebut. Namun pada kenyataannya, di mana negara ketika terjadi kerusuhan di sejumlah daerah, terakhir di Singkil, NAD ? Kejadian yang seharusnya mampu dideteksi sejak awal oleh intelejen, pada akhirnya pecah dan menimbulkan korban. Masing-masing saling tuding. Badan Intelejen mengaku sudah mendeteksi kemungkinan kejadian tersebut, pasca dituding kurang dini dalam mengantisipasi. Logikanya, jika sudah mendeteksi kejadian itu, mengapa tidak diantisipasi sebelumnya ? Pertanyaan berikutnya, dimana rasa aman yang dijanjikan ?

Poin kedua pada NAWACITA, Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Sepertinya akan banyak yang tertawa, tersenyum kecut bahkan mencibir jika membaca poin tersebut. Bagaimana tidak, tanda tanya besar selalu muncul di tengah masyarakat jika berbicara tentang tata kelola pemerintahan rezim ini. Salah satu contoh, masing-masing menteri mengeluarkan statemen yang berlawanan dan saling serang. Yang lebih menggiriskan, ucapan atau pernyataan beberapa menteri yang lebih kenunjukkan sifat arigan dan bergaya preman. Pantaskah jika seorang pejabat sekelas menteri mengucapkan kata libas, buldozer, kepret dan sejumlah kata kasar lainnya ? Jangan heran jika akhirnya masyarakat bertanya-tanya, ini negarawan atau preman. Atau mungkin ini bentuk ketegasan ala preman yang harus dimaklumi karena yang mengucapkan seorang pejabat negara ?

Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satu program yang tercantum dalam NAWACITA adalah membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Berhasilkah ? Bagaimana caranya ? Apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi ? ternyata, untuk mewujudkan hal itu dilakukanlah sejumlah proyek yang memakan biaya besar dan menggandeng tenaga dari Tiongkok. Semisal mega proyek sarana transportasi publik di sejumlah provinsi, pembangunan kereta supercepat, rencana pembuatan tol laut dan masih banyak lagi.

Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya adalah merupakan jurus Jokowi untuk menolak negara lemah. Hal itu tercantum pada NAWACITA butir ke-4. Pada kenyataannya, lembaga KPK dibuat porak poranda. Pelemahan lembaga anti rasuah yang diidolakan masyarakat, namun “dibenci” politisi dan pejabat ini semakin dilemahkan. PELINDO II seolah ditutupi kasusnya, terlepas benar-benar berkasus atau pun tidak. Belakangan, muncul pula program Bela Negara yang dengan tegas ditampik sebagai bentuk lain dari wajib militer. Program ini “diwajibkan” bagi setiap warga negara, dengan dalih untuk membuktikan jika negara ini kuat. Akan tetapi melihat pembiayaan yang demikian besar dan dinyatakan tidak akan menggunakan APBN, muncul pula kejanggalan, siapa yang akan membiayai.

Memintarkan Indonesia dengan berbagai cara pun dilakukan pemerintahan Jokowi-JK. Hal itu direalisasikan dengan wajib belajar 12 tahun dan bebas pungutan yang ditunjukkan dengan program Indonesia Pintar. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Namun pada kenyataannya di lapangan, NAWACITA ke-5 ini diterjemahkan dengan berbagai makna di daerah. Jangankan bebas pungutan, sekolah semakin menjadi membuat nominal dengan dengan dalih sumbangan sukarela, yang jumlah rupiahnya jutaan. Belum lagi pungutan lainnya, meski sudah ada program BOS. Seolah penyelenggara pendidikan menjadikan sekolah sebagai sarana bisnis. Jam pelajaran mulai dari pagi hingga sore hari, hal ini menjadikan anak didik menjadi generasi yang susah untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar rumahnya. Belum lagi, bagi yag muslim, waktu untuk mengaji pun hilang. Sepertinya jika dibaca apa adanya, program ke-5 NAWACITA ini memang hebat.

Rezim Jokowi – JK pun menjanjikan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, misalnya melalui pertanian. Yang terjadi, sawah mulai banyak digantikan bangunan beton. Hal ini merambah di pelosok desa, dimana masyarakat agraris seolah dipaksa merelakan sawahnya untuk dijadikan pabrik. Sementara di provinsi lain, masyarakatnya dipaksa merobah lahan tanaman pokoknya menjadi sawah yang ditanami padi. Bagaimana akan memenuhi program swasembada pangan ?

Mereka juga berjanji akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Mungkin untuk memenuhi janjinya agar mampu bersaing di pasar internasional, salah satu solusinya adalah mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Betapa hebatnya solusi tersebut !!

Revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, merupakan poin kedelapan dalam NAWACITA. Pada poin ini pun memunculkan pertanyaan besar dan susah untuk dijabarkan, yaitu mengukur karakter. Tolok ukur apa yang akan digunakan untuk mengetahuinya ? Yang lebih membingungkan, karakter bangsa kita akan direvolusi. Sepengetahuan kita selama ini, karakter bangsa kita yang sopan, santun, menjunjung tinggi silaturrahmi, atau lebih simpel adalah karakter yang bersumber pada Pancasila, akan direvolusi seperti apa ?

Mungkin akan dibuat dan dirumuskan tolok ukur dan kriteria untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana karakter bangsa ini, sehingga nantinya Jokowi-JK bisa melaksanakan amanat NAWACITA tersebut.

Atau mungkin tolok ukur yag digunakan adalah apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK selama ini dengan cara memaksakan kebijakan, serta merobah kebijakan yang sudah tertata rapi dan apik semata-mata demi kepentingan rezim dan kroninya ? Entahlah. Yang pasti, selama kurun waktu setahun pemerintahan Jokowi-JK masih banyak ketimpangan dan kepedihan serta kekecewaan rakyat negeri ini.

Mudah-mudahan pada tahun berikutnya, jika pemerintahan Jokowi-JK langgeng tentunya, mereka mampu membawa perobahan yang benar-benar seperti janji saat kampanye. SEMOGA. (nug)

No comments:

Post a Comment