Joko Widodo (sumber : www.harsindo.com) |
Banyak yang bilang, jika waktu 360 hari tidak bisa
dijadikan tolok ukur pasti untuk menilai sebuah keberhasilan. Kita bierbicara
sebatas itu dulu. Akan tetapi, dalam kurun waktu 1 tahun itulah, dunia
pendidikan menguji dan memberi nilai raport pada siswanya. Terlepas mampu atau
tidak, dua warna tinta, merah dan biru atau hitam sudah disiapkan untuk mengisi
nilai raport. Nah, sepertinya tidak ada salahnya juga jika kita sebagai rakyat
melakukan hal yang sama untuk menilai kinerja pemerintah selama setahun.
Setahun pemerintahan Jokowi-JK ramai dibicarakan,
bahkan banyak lembaga, aktifis, politisi dan pengamat hingga mahasiswa saling
beradu data dan nilai dengan para pendukung pemerintah. Intinya, masing-masing
fihak, berseberangan dan tidak, mempunyai landasan dan alasan sendiri dalam
mem-publish “penilaian” mereka.
Perang data dan argumen pun tak bisa dihindarkan.
Rezim Jokowi-JK yang terkesan “tidak mau”
dibandingkan atau bahkan mengakui keberhasilan para rezim pendahulunya, selama
setahun ini dengan bangga menyuarakan program unggulan yang dikemas dalam
NAWACITA. Namun, apakah NAWACITA mampu memulihkan kondisi negara dan rakyat
Indonesia, yang dikatakan pendukung rezim Jokowi-JK sebagai hasil warisan rezim
pendahulunya menunjukkan perubahan perbaikan ? Bergembiralah kita jika memang
terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, menjadi hak kita pula
jika mengatakan banyak ketidakberesan selama satu tahun Jokowi-JK memegang
tampuk pemerintahan. Namun yang pasti, menurut omongan mereka yang dekat dengan
lingkaran penguasa, dan tentunya wajar juga, jika waktu setahun belum bisa
dijadikan tolok ukur pencapaian sebuah keberhasilan tatanan pemerintahan.
Sejak awal menduduki kursi pemerintahan, NAWACITA
seolah menjadi senjata ampuh untuk membenahi Indonesia. Nah, dari NAWACITA
itulah kita jadikan landasan untuk mengukur keberhasilan Jokowi dalam
menjalankan roda pemerintahan selama setahun ini.
Jokowi - JK berjanji di depan ratusan juta rakyat
Indonesia, akan melindungi, memberi rasa aman kepada segenap bangsa dan seluruh
warga negara. Menciptakan keamanan nasional dan pembangunan pertahanan negara
dengan kepentingan nasional sebagai landasannya. Atau lebih lengkapnya yang
tercantum dalam NAWACITA : Menghadirkan
kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan
nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu
yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara
maritim. Jujur, mungkin hanya orag berpendidikan tinggi, atau hanya tim
perumusnya yang mampu memahami makna program tersebut. Mengingat bahasa yang
digunakan sangat rumit untuk diterjemahkan masyarakat awam. Yang pasti, menurut
pemahaman saya, negara “berniat” memberikan rasa aman bagi seluruh warga
negaranya.
Sungguh
mulia niatan tersebut. Namun pada kenyataannya, di mana negara ketika terjadi
kerusuhan di sejumlah daerah, terakhir di Singkil, NAD ? Kejadian yang
seharusnya mampu dideteksi sejak awal oleh intelejen, pada akhirnya pecah dan
menimbulkan korban. Masing-masing saling tuding. Badan Intelejen mengaku sudah
mendeteksi kemungkinan kejadian tersebut, pasca dituding kurang dini dalam
mengantisipasi. Logikanya, jika sudah mendeteksi kejadian itu, mengapa tidak
diantisipasi sebelumnya ? Pertanyaan berikutnya, dimana rasa aman yang
dijanjikan ?
Poin
kedua pada NAWACITA, Membuat pemerintah
tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan
kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan
konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga
perwakilan.
Sepertinya akan banyak yang tertawa, tersenyum
kecut bahkan mencibir jika membaca poin tersebut. Bagaimana tidak, tanda tanya
besar selalu muncul di tengah masyarakat jika berbicara tentang tata kelola
pemerintahan rezim ini. Salah satu contoh, masing-masing menteri mengeluarkan
statemen yang berlawanan dan saling serang. Yang lebih menggiriskan, ucapan
atau pernyataan beberapa menteri yang lebih kenunjukkan sifat arigan dan
bergaya preman. Pantaskah jika seorang pejabat sekelas menteri mengucapkan kata
libas, buldozer, kepret dan sejumlah kata kasar lainnya ? Jangan heran jika
akhirnya masyarakat bertanya-tanya, ini negarawan atau preman. Atau mungkin ini
bentuk ketegasan ala preman yang harus dimaklumi karena yang mengucapkan
seorang pejabat negara ?
Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, salah satu program yang tercantum dalam NAWACITA adalah membangun
Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan. Berhasilkah ? Bagaimana caranya ? Apa yang dilakukan
pemerintahan Jokowi ? ternyata, untuk mewujudkan hal itu dilakukanlah sejumlah
proyek yang memakan biaya besar dan menggandeng tenaga dari Tiongkok. Semisal
mega proyek sarana transportasi publik di sejumlah provinsi, pembangunan kereta
supercepat, rencana pembuatan tol laut dan masih banyak lagi.
Melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya adalah merupakan jurus Jokowi untuk menolak negara lemah. Hal itu
tercantum pada NAWACITA butir ke-4. Pada kenyataannya, lembaga KPK dibuat porak
poranda. Pelemahan lembaga anti rasuah yang diidolakan masyarakat, namun
“dibenci” politisi dan pejabat ini semakin dilemahkan. PELINDO II seolah
ditutupi kasusnya, terlepas benar-benar berkasus atau pun tidak. Belakangan,
muncul pula program Bela Negara yang dengan tegas ditampik sebagai bentuk lain
dari wajib militer. Program ini “diwajibkan” bagi setiap warga negara, dengan
dalih untuk membuktikan jika negara ini kuat. Akan tetapi melihat pembiayaan
yang demikian besar dan dinyatakan tidak akan menggunakan APBN, muncul pula
kejanggalan, siapa yang akan membiayai.
Memintarkan Indonesia dengan berbagai cara pun
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK. Hal itu direalisasikan dengan wajib belajar
12 tahun dan bebas pungutan yang ditunjukkan dengan program Indonesia Pintar.
Hal itu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia. Namun pada kenyataannya di lapangan, NAWACITA ke-5 ini diterjemahkan
dengan berbagai makna di daerah. Jangankan bebas pungutan, sekolah semakin
menjadi membuat nominal dengan dengan dalih sumbangan sukarela, yang jumlah
rupiahnya jutaan. Belum lagi pungutan lainnya, meski sudah ada program BOS.
Seolah penyelenggara pendidikan menjadikan sekolah sebagai sarana bisnis. Jam
pelajaran mulai dari pagi hingga sore hari, hal ini menjadikan anak didik
menjadi generasi yang susah untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar
rumahnya. Belum lagi, bagi yag muslim, waktu untuk mengaji pun hilang.
Sepertinya jika dibaca apa adanya, program ke-5 NAWACITA ini memang hebat.
Rezim Jokowi – JK pun menjanjikan kemandirian
ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, misalnya
melalui pertanian. Yang terjadi, sawah mulai banyak digantikan bangunan beton.
Hal ini merambah di pelosok desa, dimana masyarakat agraris seolah dipaksa
merelakan sawahnya untuk dijadikan pabrik. Sementara di provinsi lain,
masyarakatnya dipaksa merobah lahan tanaman pokoknya menjadi sawah yang
ditanami padi. Bagaimana akan memenuhi program swasembada pangan ?
Mereka juga berjanji akan meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Mungkin
untuk memenuhi janjinya agar mampu bersaing di pasar internasional, salah satu
solusinya adalah mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Betapa hebatnya
solusi tersebut !!
Revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan
penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek
pendidikan kewarganegaraan, merupakan poin kedelapan dalam NAWACITA. Pada poin
ini pun memunculkan pertanyaan besar dan susah untuk dijabarkan, yaitu mengukur
karakter. Tolok ukur apa yang akan digunakan untuk mengetahuinya ? Yang lebih
membingungkan, karakter bangsa kita akan direvolusi. Sepengetahuan kita selama
ini, karakter bangsa kita yang sopan, santun, menjunjung tinggi silaturrahmi,
atau lebih simpel adalah karakter yang bersumber pada Pancasila, akan
direvolusi seperti apa ?
Mungkin akan dibuat dan dirumuskan tolok ukur dan
kriteria untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana karakter bangsa ini,
sehingga nantinya Jokowi-JK bisa melaksanakan amanat NAWACITA tersebut.
Atau mungkin tolok ukur yag digunakan adalah apa
yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK selama ini dengan cara memaksakan
kebijakan, serta merobah kebijakan yang sudah tertata rapi dan apik semata-mata
demi kepentingan rezim dan kroninya ? Entahlah. Yang pasti, selama kurun waktu
setahun pemerintahan Jokowi-JK masih banyak ketimpangan dan kepedihan serta kekecewaan
rakyat negeri ini.
Mudah-mudahan pada tahun berikutnya, jika
pemerintahan Jokowi-JK langgeng tentunya, mereka mampu membawa perobahan yang
benar-benar seperti janji saat kampanye. SEMOGA. (nug)
No comments:
Post a Comment