Friday, October 28, 2011

Perajin Replika Moge, Hobby Berbuah Manis

Taufiqurrahman Bergaya dengan Replika Harley buatannya

Jepara.Bagi para penggemar dan pengkoleksi motor gede jenis Harley Davidson, Chooper dan lainnya, pasti tidak akan percaya jika mendengar ada motor jenis tersebut dijual dengan harga Rp. 10 juta dalam kondisi baru. Tetapi jangan heran jika motor ini hanya pantas dipajang di rumah. Motor gede atau moge jenis Harley Davidson lazimnya terbuat dari besi dengan bobot mencapai ratusan kilogram, namun pernahkan anda melihat motor jenis ini terbuat dari kayu? Seorang pengrajin mebel di Jepara, Jawa Tengah dengan segala kekreatifannya telah membuat replika motor Harley Davidson dari kayu, dengan model dan ukuran yang sama persis dengan aslinya.
Berangkat dari lesunya penjualan mebel Jepara, menjadikan para pengrajin di Kota Ukir tersebut harus lebih berani menggali ide kreatifitas jika tidak ingin gulung tikar dalam usahanya. Kondisi tersebut tidak mematikan gairah mereka, bahkan memicu munculnya ide kreatif dan inovasi baru.
Salah satu pengrajin yang berhasil menciptakan inovasi produk adalah Taufiqurrahman (30). Berbekal bahan kayu Jati pilihan, warga desa Bapangan Rt. 2/IV, Kecamatan Kota Jepara Jawa tengah ini merintis pembuatan replika motor gede jenis Harley Davidson atau motor sport dengan bentuk dan ukuran persis aslinya.
Taufiq mengaku, ide membuat replika moge atau motor sport tersebut didapatnya secara tidak sengaja. “Saya memang suka dengan motor besar. Padahal tidak memiliki satu unit pun,” tutur pria berkumis tipis ini. Adapun untuk mengenal lebih dekat motor idamannya itu, dia mengaku sering menjelajah di internet. Pada mulanya dia hanya mengumpulkan gambar Harley Davidson sekedar untuk koleksi. “Ndak  punya motornya, tapi gambarnya aja sudah puas, mas,” imbuhnya kepada Cempaka sambil tertawa. Meski demikian dia berharap suatu saat nanti bisa memiliki motor idamannya itu.

Bengkel Produksi Replika Moge Milik Taufiqurrahman

 Siap untuk Sentuhan Akhir

Saat industri mebel di Jepara sedang lesu, Taufiq mempunyai angan-angan untuk mewujudkan impiannya itu. Akhirnya, dia pun coba-coba mewujudkan apa yang selama ini membayang di fikirannya. “Saya ndak  peduli omongan orang. Pokoknya saya harus bisa membuat Harley Davidson dari bahan yang saya punya,” tuturnya lebih lanjut. Berbekal peralatan ukir dan kayu Jati pilihan, Taufiq mewujudkan impiannya. Meski hanya replika, namun itu sudah cukup mengobati keinginan Taufiq yang menggebu-gebu ingin memiliki Harley Davidson.
Satu unit motor gede Harley Davidson atau motor sport biasanya dia kerjakan dalam waktu satu setengah bulan, dengan harapan hasil pekerjaannya bisa maksimal. Proses tersebut dimulai sejak pemilihan bahan kayu jati hingga pengecatan. Taufiq tidak sembarangan dalam memilih kayu. “Kayu jati yang akan digunakan harus benar-benar kering,” ujarnya. Hal ini diperlukan agar replika moge atau motor sport awet. Alasannya, jika tidak kering maka kayu tersebut akan mudah patah, bahkan saat dicat pun hasilnya tidak akan maksimal.
Agar benar-benar kering, kayu jati pilihan tersebut dimasukkan dalam mesin oven selama dua sampai tiga minggu. Setelah itu mulailah bapak satu anak ini membentuk kayu tersebut sesuai bentuk asli motor gede yang akan dibuat.
Menurut Taufiqurahman proses pengerjaaan moge atau motor sport ini membutuhkan ketelitian tersendiri. Komponen motor dibuat sedetail mungkin seperti bentuk aslinya. Padahal sejumlah bagian tersebut, seperti rangka mesin merupakan rangkaian dari bentuk-bentuk yang kecil. “Pembuatan rangka mesin harus ekstra hati-hati. Ini pekerjaan yang sangat njlimet , dari membuat hingga merangkai satu persatu komponen tersebut,” ucap Taufiq sambil bergaya di atas replika motor buatannya. Meski hanya replika, namun moge ini bisa diduduki layaknya motor gede sesungguhnya. Selain mesin, bagian lain yang dinilai sangat sulit dalam proses pembuatannya adalah bagian roda.
          Bermula dari hobi dan kondisi pasar ukir Jepara yang kurang bergairah, ketekunan Taufiqurrahman ternyata berbuah kesuksesan. Terkadang Taufiq kewalahan melayani pesanan yang membanjir. “Kami hanya bertiga. Kalau pesanan banyak, bisa dibayangkan bagaimana kerja kami,” imbuhnya. Tidak jarang dia pun ikut turun tangan langsung dalam proses pembuatan hingga finishing. Taufiq mengaku, dalam persiapan pembuatan satu unit moge ada tingkat kesulitan tersendiri selain pemilihan bahan. Tahap desain dan pembuatan body adalah dua hal yang paling menantang pada tahap awal proses terciptanya replika motor ini. “Saya harus benar-benar teliti dan tepat dalam mengukur keseimbangan bentuknya,” kata pria asli Jepara ini. Dalam membuat replika motor, pria ini tidak hanya terpatok pada satu jenis motor akan tetapi hampir semua jenis motor gede yang ada. “Tergantung pesanan dan ide yang muncul, mas,” ucap pria tamatan SMP itu.
          Pria yang mengaku memiliki keahlian ukir bawaan ini pada mulanya menekuni pembuatan replika kapal layar, namun dalam ukuran kecil. Hal itu dia tekuni sejak tahun 2004. Setelah dirasa pangsa pasar mulai tersendat, Taufiq kemudian melakukan pengembangan mendasar yang sangat berani. Yaitu membuat replika motor gede ini. Untuk pembuatan satu unit motor gede, Taufiq membutuhkan bahan satu kubik kayu jati glondongan. Adapun bobot tiap unitnya setelah jadi mencapai 1 kwintal. Taufiq membandingkanpemasaran produknya saat ini dengan tahun lalu. Menurutnya, akhir-akhir ini pangsa pasar sedikit lesu dibanding beberapa tahun lalu. “Tahun lalu sangat lancar pemasarannya, tapi belakangan ini rasanya sedikit sulit,” keluhnya. Pembeli lokal kebanyakan melalui pameran yang sering dia ikuti atau datang ke rumahnya. Sejauh ini dalam berproduksi Taufiq masih mengandalkan idenya sendiri. Beberapa kali memang ada pemesan yang datang dengan membawa gambar untuk dibuatkan replikanya. Meski ada beberapa kendala dalam berproduksi, diantaranya tenaga kerja dan pemasaran yang kurang lancar, namun Taufiq pantang menyerah untuk terus menjalankan usahanya.


Hingga  saat ini Taufiq mengaku sudah membuat puluhan replika moge, mulai dari jenis V-road, Custom, Chooper atau Free Style. Hasil olah kreatif Taufiq dan teman-temannya ini ternyata tidak hanya diminati konsumen dalam negeri, tidak sedikit pesanan yang datang dari manca negara.
Untuk pangsa dalam negeri sendiri peminatnya tersebar di sejumlah kota seperti Bali,  Jakarta dan Lampung. Sedang di luar negeri hasil karya Taufiqurrahman sudah diekspor ke sejumlah negara Eropa mulai dari Belanda, Jerman, Spanyol dan Perancis. “Sejauh ini saya lebih banyak berproduksi untuk diekspor, terutama ke Eropa,” tuturnya. Meski demikian, Tufiq tidak pernah berhenti untuk berproduksi. Hal itu dia lakukan untuk menjaga stok di rumahnya. Alasannya, pembeli tidak bisa dipastikan kapan akan datang dan membeli hasil karyanya di rumah.
Taufiq mematok harga tiap unit replika moge atau motor sport berkisar antara sepuluh hingga lima belas juta rupiah. (nugroho)

RAJA BEDUG dari JEPARA


Jepara.Keberadaan dan fungsi bedug di masjid tidak berubah, setidaknya demikian di Indonesia, yaitu sebagai pembuka sebelum adzan tanda shalat dikumandangkan, atau digunakan sebagai pengiring ketika mengumandangkan takbir saat hari raya. Namun untuk membuat bedug agar bersuara keras dan lebih nyaring tidaklah mudah. Ada beberapa pengrajin bedug yang mampu membuat bedug, namun suaranya lembek. Dari sekian banyak pengrajin bedug yang ada, sepertinya milik H. Maschun, pengrajin bedug dari kota Ukir Jepara ini yang paling banyak mendapat order. Sudah banyak yang membuktikan kualitas suara bedug buatan lelaki paruh baya ini, selain suara bedug yang kencang ditambah suara yang mantap dan nge-bas. Tidaklah heran jika produk buatan
H. Maschun ini sudah melanglang hingga manca negara. Namun siapa tahu, untuk mengawali sebagai seorang pengrajin bedug seperti sekarang ini, Maschun mengalami jatuh bangun pada awal usahanya. Pilihan berani sekaligus cerdas diambil Maschun yang akrab dipanggil tetangganya dengan nama Maun. Di saat orang berteriak krisis moneter tahun 2007 - 2008. Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan, sementara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) makin marak terjadi, di sisi lain bagi sebagian orang Jepara masa itu justru masa keemasan. Namun yang menarik, Maun justru mantap memilih untuk menekuni usaha pembuatan ornamen masjid. “Bisnis meubel memang booming saat itu, tapi naluri bisnis saya menuntun ke arah lain,” kenang Maun kepada Cempaka. Mebel tetap digelutinya. Akan tetapi tahun 2007 dia mulai melirik pekerjaan lain yang masih ada hubungannya dengan kayu. "Awalnya saya melihat bahwa usaha yang paling memberi barokah sekaligus peluang besar adalah pembuatan ornamen masjid semisal bedug dan lainnya," ungkap pria berumur 57 tahun ini. Setiap desa, kota bisa dibilang tidak pernah absen dari peralatan-peralatan berupa mimbar, kaligrafi apa lagi bedug. Bisa dikatakan di seluruh dunia pasti ada masjid. Utamanya di Indonesia seluruh masjid mayoritas menggunakan bedug sebagai ornamen masjid sekaligus sebagai tanda salat, hal ini yang mendorong niatan Maun untuk mewujudkan usahanya.
Berawal dari ketekunan dan keuletan merintis usaha tanpa kenal lelah melalui media promosi, dari mulut ke mulut para pembeli mendatangi tempat usahanya di Jalan Raya Kudus-Jepara KM3, tepatnya di Desa Senenan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara.
Setiap bulan, tutur Maun tidak kurang delapan bedug dan sejumlah mimbar maupun podium laku terjual. Pria yang mengaku berani menolak pesanan bedug jika harganya tidak sesuai ini mengatakan, bahwa dia dan pekerjanya dalam membuat bedug tidak hanya sekedar membuat dan menjual. Akan tetapi bagaimana orang lain bisa menghargai hasil karya seninya. “Pembuatannya kan tidak mudah dan membutuhkan keahlian yang tidak setiap orang bisa," tuturnya. Karena itu setiap orang yang datang memesan ke tempat Maun sudah paham dengan kualitas barang maupun harga yang harus dibayar. Menurutnya setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh memberikan hasil yang nyata.

Pengrajin mengukir ornamen kaligrafi

Kulit kerbau pilihan yang akan digunakan harus direndam dulu

Keahliannya merancang bangun bedug, podium maupun mimbar membuat nama Maschun semakin dikenal. Alhasil pesanan yang datang bukan hanya sekedar dari tanah Jawa semata. Masjid yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua bisa ditelusuri terdapat buah tangan lelaki ini. Kualitas bedug buatan pemilik usaha dengan nama Raja Bedug ini, sepertinya pantas jika menjadi pilihan utama. Pasalnya, bedug buatan Maschun ini memiliki suara yang khas, suaranya nge-bas dan enak didengar. Untuk bisa mendapatkan suara yang khas dibutuhkan keterampilan dan teknik tersendiri. Saat merancang bedug, di dalam beduk dilapisi aluminum dan pralon. Agar kuat kerangka yang melingkar dibuat dari besi. Kerangka yang berbentuk lingkaran itu kemudian dibalut dengan kayu. Kayu yang dipilih pun tidak bisa sembarangan. Agar menghasilkan kualitas yang bagus serta tahan lama, bedug yang dibuat Maun mesti memakai kayu jati. "Kayu jatinya harus benar-benar kering sehingga kuat. Kulit yang diletakkan di masing-masing ujungnya pun harus menggunakan kulit binatang pilihan," tandasnya. Sejauh ini Maschun lebih memilih menggunakan kulit Kerbau dibanding Sapi. Alasannya, hewan yang satu ini makanannya khusus rumput sehingga kulitnya pun kualitasnya benar-benar terbukti. “Kalau sapi-kan makannya tidak hanya rumput, terkadang ampas tahu maupun makanan lain sehingga kulitnya tidak kuat seperti kulit kerbau," katanya meyakinkan.
Sebenarnya untuk mendapatkan kulit kerbau, Maun mengaku sedikit kesulitan karena di Jepara sangat jarang. Adapun untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia lebih banyak mendapatkan dari Kabupaten Kudus. Meski demikian, memasuka ramadan kali ini, dia mengaku kesulitan memperoleh bahan baku kulit kerbau. Alasannya, meski banyak orang punya kerja yang menyembelih kerbau, namun mereka tidak menjual kulitnya karena diolah sendiri untuk membuat rambak. “Untuk harga kulit kerbau tergantung situasi. Saya selalu memilih yang kering dengan ketebalan tertentu. Yang semacam itu harganya mencapai Rp. 4jutaan,” jelas Maun.
          Proses pembuatan satu buah bedug memerlukan waktu hingga satu bulan. Diawali dari proses pembuatan kerangka hingga mengoven kayu jati yang akan dijadikan penampang lingkaran bedug. Agar kulit kerbau lebih awet, sebelum dipasang terlebih dahulu dilumuri batu kapur atau fosfat. Kemudian untuk mempercantik bedug di bagian penampang bedug diukir sesuai keinginan pemesan. Di bulan ramadhan kali ini, jumlah pemesan bedug milik H. Maschun pun bertambah, bahkan orderan meningkat antara 30 sampai 40 persen dari hari biasa. Selain dikirim ke berbagai masjid di wilayah Nusantara, bedug buatan Maschun juga dikirim ke mancanegara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, Amerika, dan negara timur tengah. Namun untuk tahun ini pesanan bedug masjid datang dari negeri timur tengah seperti Irak dan Arab Saudi. Pemesan mancanegra yang setia menggunakan bedug miliknya, terbanyak dari Malaysia, sedangkan untuk dalam negeri didominasi pesanan dari daerah Sumatra. 

 Maschun mencoba bedug sebelum proses akhir produksi

Kerajinan bedug Raja Bedug milik Maschun yang beralamat di Desa Senenan rt 2/ rw I, Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara ini melayani pesanan berbagai macam ukuran bedug. Harga bedug ukuran standard berdiameter 40 centimeter dengan panjang 1 meter, komplit dengan kentongan dan tiang penyangga dibandrol harga Rp. 17,5 juta. Sedangkan bedug dengan ukuran 1,40meter x 1,80 meter dilepas dengan harga Rp. 35 juta. “Saya selalu menjual satu set, yaitu bedug, tiang penyangga dan kentongan,” pungkas bapak empat anak ini. (nugroho)

 

SUKSES DENGAN JAMUR MERANG

Jamur merang dengan media tanam limbah Kapas

Pati.Menggunakan sedikit modal akan tetapi bisa mendapatkan keuntungan maksimal itulah salah satu prinsip yang selalu dipegang dan diterapkan oeh Wiwid Hartoko (30), warga desa Telogorejo, Kecamatan Telogowungu Kabupaten Pati Jawa tengah dalam memulai usahanya. Sekitar dua tahun terakhir ini, pria yang enggan untuk menjadi pegawai negeri ini berkutat dengan usaha budidaya Jamur Merang.
          Ada yang berbeda dalam pembudidayaan jamur tersebut. Jika selama ini kebanyakan orang melakukan pembudidayaan Jamur merang dengan menggunakan media jerami atau merang, namun lain halnya dengan yang dilakukan Wiwid, dalam melakukan pembudidayaan dia memanfaatkan sisa olahan Kapuk atau kapas yang memang banyak di Pati. “Mulanya saya sering melihat sisa olahan kapuk yang terbuang sia-sia. Dalam benak saya, ini pasti bisa dimanfaatkan,” tuturnya saat ditemui Cempaka di rumahnya, Selasa (15/2). Selain itu dia juga belajar dengan seorang yang telah terbilang sukses dengan usaha serupa.
          Menurut pria yang juga memiliki kegemaran di bidang otomotif  ini, budidaya jamur dengan menggunakan media sisa olahan kapuk sangatlah efektif dalam berbagai hal, terutama dalam permodalan dan perawatannya. “Dengan media ini tidak perlu nyelup tiap hari. Lain halnya kalau menggunakan jerami, sangat ribet dan buang waktu,” imbuhnya. Selain itu, proses pengomposannya pun lebih singkat, dengan demikian masa panennya lebih cepat. Jika menggunakan jerami, dari proses awal pembuatan hingga mencapai usia panen membutuhkan waktu sekitar 20 hari, sedangkan dengan menggunakan sisa olahan kapuk hanya membutuhkan waktu 10 hari.
Hingga saat ini Wiwid masih terus berusaha mengembangkan usahanya tersebut. Lima Kumbung ( rumah jamur ) dengan masing-masing Kumbung terdapat dua deret rak (bedengan) bertingkat lima, sebagai tempat meletakkan media tumbuh merupakan modal awal dalam menjalani usahanya tersebut. Kumbung itu pun dibuat sangat sederhana, yaitu dari bambu dengan dinding dari plastik. “Intinya agar suhu dalam ruangan bisa mencapai antara 30 – 38 derajad celcius, dimana jamur ini bisa tumbuh dan berkembang,” paparnya. Meski dia mengaku tidak menemukan kendala dalam melakukan pembudidayaan jamur merang selama ini, namun tantangan terberat adalah harus siap untuk bangun pagi. Hal ini dikarenakan setiap jam 04.00 jamur sudah mulai siap panen. “Jika bangun kesiangan, sudah pasti jamur gagal panen karena kuncup telah mekar, meski masih bisa dimakan, namun nilai ekonomisnya akan turun,” imbuhnya. Jamur merang biasanya diminati saat kuncupnya belum mekar, masih berbentuk bulat dengan warna putih kecoklatan.

Penyiraman untuk menjaga kelembaban media tanam
Salah seorang karyawan sedang memanen Jamur
Setiap hari Wiwid dengan dibantu lima orang karyawannya selalu memanen jamur tersebut, dalam 20 – 30 hari mereka mengaku berhasil panen sebanyak 300kg jamur. “Harga jual per kilo setelah dikemas hanya
Rp. 17 ribu,” jelasnya. Paling tidak dalam sebulan mereka mendapatkan hasil kotor dari penjualan sebesar lima juta seratus ribu rupiah. “Setelah dipotong biaya operasional bulanan kami mendapat untung bersih sekitar dua juta delapan ratus ribu,” terang pria yang senang bercanda ini. Untuk pemasaran jamur tersebut sementara ini masih di sekitar karesidenan Pati.
Meski demikian Wiwid mengaku masih belum mampu mencukupi permintaan pasar akan jamur merang. “Sebenarnya sudah ada permintaan dari sebuah perusahaan multi nasional yang akan membeli jamur kami, tapi sampai saat ini untuk memenuhi permintaan pasar lokal saja masih belum mencukupi,” terangnya. Ditambahkan bahwa kerjasama dengan perusahaan tersebut rencananya yang akan menampung produksi jamurnya kemudian akan dieksport. Terkait akan hal tersebut, pria yang lebih senang tinggal di desa ini berusaha menambah kumbung untuk meningkatkan kapasitas produksi jamurnya, sehingga dapat memenuhi semua permintaan.
          Melihat kenyataan yang ada, jamur merang yang dibudidayakan dengan menggunakan limbah kapas ini memang sangat menjanjikan hasilnya. Selain modal yang kecil untuk memulai usaha tersebut, daya jualnya sangat tinggi di pasaran, jamur ini juga berkualitas eksport. Selain itu, limbah dari median yang sudah tidak terpakai juga bisa dimanfaatkan untuk diolah kembali dijadikan pupuk kompos.
  
Wiwit tidak segan ikut memanen Jamur

Jamur merang Andalan, demikian Wiwid memberi nama jamur yang sudah dikemas dan siap dipasarkan tersebut, pembudidayaannya memanfaatkan lahan di belakang rumahnya yang sangat luas. Dengan tenaga kerja para pemuda di desanya. “Saya sengaja membuat lapangan pekerjaan bagi pemuda di desa saya,” tuturnya. Pria berputra dua ini juga tidak segan turun tangan sendiri ikut memanen jamur bersama para pekerjanya. Ada alasan tersendiri mengapa dia ikut turun tangan langsung, alasannya agar bisa memantau kualitas jamur yang dibudidayakan secara langsung. Bahkan tidak jarang, menurut penuturannya para pembeli, yang kebanyakan pedagang ikut membantu membersihkan dan mengupas jamur yang telah di panen. “Suasana akrab dan tanpa jarak ini memang sengaja saya buat agar mereka merasa nyaman saat bekerja dan datang ke sini,” jelasnya lebih lanjut.
          Berkat kegigihannya dalam berusaha, pria yang merasa nyaman hidup di desa ini mampu mendapatkan hasil yang lumayan, bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pemuda di lingkungannya. (nugroho)

Thursday, October 27, 2011

CANTING SRIKANDI dari LASEM

Ramini dan Hasil Karya Para Srikandi Desa Jeruk 
Salah satu wilayah di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yaitu Desa Jeruk, Kecamatan Pancur sebagian besar penduduknya, terutama perempuan adalah pengrajin batik tulis khas Lasem. Berpuluhan tahun para wanita Desa Jeruk menjadi buruh batik di Lasem. Mereka rata-rata meneruskan profesi yang ditekuni leluhur mereka. Keahlian membatik ini mereka dapatkan secara otodidak.         

Salah seorang perempuan dari desa tandus tersebut adalah Ramini (45). Hampir sepuluh tahun istri Darmani (56) ini menjadi buruh batik di Lasem. Hingga pada tahun 2002 dia berhenti menjadi buruh. Ia tinggal di rumah membantu pekerjaan suaminya yang seorang petani. Pada tahun 2005, menurut penuturannya dia kedatangan tamu seorang lelaki. “Tamu itu menanyai saya, apa mau kalau membatik lagi,” kisahnya. Sebenarnya itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan, namun ibu dari tiga anak ini tidak langsung menyanggupi. “Saya merasa keberatan dan tidak mampu, karena harus membuat kelompok,” kenangnya. Dalam pemikiran perempuan lugu ini, tidaklah mudah menyatukan banyak orang dalam sebuah kelompok. Sepertinya tamu tersebut tidak putus asa menemui Ramini di rumahnya. Hingga kali ke-empat kedatangannya, akhirnya Ramini menyatakan akan berfikir dulu dengan tawaran tersebut. “Karena saya butuh pekerjaan, akhirnya tawaran itu saya terima. Meski begitu saya masih ragu dengan kemampuan saya,” imbuhnya. Melihat keraguan masih tergambar di wajah nenek dari satu cucu ini, lelaki itu terus memberi semangat. Lelaki tersebut adalah William Kwan, atau lebih akrab disapa Willi dari Lembaga swadaya masyarakat Institut Pluralisme Indonesia (IPI). Dialah yang terus memompa semangat Ramini untuk bangkit. “Alasan saya ndak langsung menerima karena saya sekolah hanya sampai kelas I SD. Lha  kalau mau pinjam kredit untuk modal bagaimana mengembalikannya," kata Ramini. 

Satu minggu kemudian, Willi kembali dan memintanya untuk membentuk kelompok. Dengan dibantu tiga orang temanya, yaitu Sulastri, Marni dan Juwariyah akhirnya terbentuklah kelompok dengan nama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Srikandi. Berawal dari itulah, Ramini dan teman-temannya mendapat bantuan modal dan bimbingan. Seiring perjalanan waktu, usaha mereka ternyata berjalan lancar. Nasib batik Lasem yang sempat nyaris tenggelam, berkat keteguhan Ramini dan teman-temannya kembali terangkat ke permukaan. Dari empat orang yang tergabung dalam kelompok, kemudian berkembang hingga akhirnya menjadi 12 orang.
Para Srikandi dari Desa Jeruk Sedang Menorehkan Cantingnya

 Ramini Sedang Membatik


Dalam kelompok tersebut, oleh ketiga orang temannya, Ramini dipercaya sebagai ketua. Meski mengaku kurang pengalaman dalam berorganisasi, Ramini pun menerima kepercayaan tersebut.

Ada yang unik dalam pembuatan batik Lasem, para pengrajin ini lebih mengutamakan bahan pewarna dari alam. Contohnya dari daun Jati, Jambu dan Mangga. “Memang prosesnya sangat sulit, tapi kami sangat senang akan hal itu,” imbuh Ramini saat ditemui Cempaka  (5/7) di rumahnya.

Jiwa wirausaha nyatanya berkembang pada anggota KUB Srikandi. Mereka rajin menghasilkan corak baru agar pembeli tak bosan. Bahkan batik karya Ramini, Damai Sejahtera, menjadi finalis ASEAN Award for Young Artisans in Textiles setelah diikutkan Dekranas dalam ASEAN Handicraft Promotion and Development Association di Bangkok, Thailand, November 2009. Meski begitu, Ramini mengatakan, pemasaran masih menjadi kendala mereka. Pemasaran masih di sekitar Rembang, Juwana, Kudus, dan Surabaya. 
          Namun yang pasti usaha para Srikandi ini telah membuahkan hasil, meski pemerintah setempat terkesan kurang perhatian akan nasib para pengrajin dan hasil karya batik khas Lasem.  Para buruh batik di desa Jeruk yang tadinya terkena PHK mulai bergabung ke dalam kelompok mereka. Sebagai upaya nyata untuk melestarikan batik, mereka mendirikan sanggar untuk melatih anak-anak belajar membatik, membuat barang-barang kerajinan dan mempelajari tari tradisional. Ramini ingin menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga desa Jeruk sekaligus melestarikan batik Lasem. Ia juga ingin menjadi seorang pengusaha, karena pengalaman menjadi buruh lebih banyak tidak enaknya.
Keberhasilan Ramini dkk di KUB Srikandi Jeruk ini menepis anggapan bahwa buruh batik selamanya akan menjadi buruh. Padahal selama diberi kesempatan, mereka bisa menjadi lebih sejahtera. Mereka pula bisa menjadi Srikandi bagi diri mereka sendiri. (nugroho)