Wednesday, December 30, 2015

Bertamu Di Rumah Dewa Langit

Hian Thian Siang Tee, Kelenteng Tertua Di Indonesia




“Meski berusia 400 tahun lebih, bangunan yang didominasi warna merah dan ornamen khas Tiongkok ini masih berdiri kokoh”



Jepara.Menyusuri kota Ukir Jepara ternyata banyak menyimpan peninggalan sejarah yang memperkaya pengetahuan. Kota yang tidak hanya dikenal sebagai Bumi Kartini ini, juga menyimpan sejarah dan peninggalan masa lampau yang sangat mengagumkan. Memasuki hari raya Imlek tahun ini, mendorong Cempaka untuk melihat langsung bukti peninggalan kebudayaan ratusan tahun lalu, yang ada di Kabupaten Jepara. Sebuah bangunan kuno, yang konon berusia 400 tahun lebih, berdiri kokoh di sudut pasar Welahan, Jepara. Bangunan itu adalah Kelenteng Hian Thian Siang Tee. Dirunut dari sejarahnya, tempat peribadatan warga keturunan ini merupakan kelenteng tertua di Indonesia, diperkirakan dibangun sekitar tahun 1600-an. Kelenteng ini terletak di gang Pinggir nomor 4, Welahan, Jepara menempati lahan seluas kurang lebih 1 hektar. Meski berusia 400 tahun lebih, bangunan yang didominasi warna merah dan ornamen khas Tiongkok, seperti klenteng lainnya itu, masih berdiri kokoh. Klenteng ini dibangun oleh tokoh pengobatan dari Tiongkok, bernama Tan Siang Hoe bersama dengan kakaknya bernama Tan Siang Djie.
          Bangunan utama klenteng menjadi tempat sembahyangan bagi umat keturunan Tionghoa. Sejumlah lampion khas China menghiasi langit-langit serambi tersebut. Hanya pada areal inilah para pengunjung diperbolehkan memotret. Untuk masuk ruang altar sembahyangan, kita melewati pintu tengah. Aroma dupa sangat terasa ketika melangkah ke bagian dalam.
Pada bagian dalam klenteng Hian Thian Siang Tee nyaris tidak ada penerangan, selain cahaya lilin. Tampak patung Dewa Langit sedang duduk, salah satu kakinya menginjak Kura-kura yang dililit Ular, dikawal dua jenderal yaitu Zhao dan Khang.
Klenteng yang berada di bawah naungan Yayasan Pusaka ini memiliki cerita yang sangat menakjubkan pada awal mula pendiriannya. Seperti yang diceritakan Handayati (78), pada masa penjajahan Hindia Belanda, sekitar 1830, datanglah seorang Tionghoa totok dari Tiongkok bernama Tan Siang Boe. Beliau pergi dari Tiongkong menuju Asia Tenggara untuk mencari saudara tuanya bernama Tan Siang Djie di Indonesia. Sewaktu berangkat dari Tiongkok, dia berada dalam satu perahu bersama seorang Tasugagu (Pendeta) yang baru pulang bertapa dari Pho To San di wilayah daratan Tiongkok (tempat ini juga jadi pertapaan Hian Thian Siang Tee).  Di tengah perjalanan pendeta tersebut jatuh sakit. Kemudian Tan Siang Hoe merawatnya dengan bekal obat–obatan yang dibawanya dari Tiongkok, dan berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita pendeta tersebut. Dengan rasa berterima kasih atas kesembuhannya, ketika mendarat di Singapura pendeta itu memberikan tanda mata ucapan terima kasih kepada Tan Siang Boe berupa satu kantong yang berisi barang–barang pusaka kuno Tiongkok. “Kantong itu semacam tas, yang berisi benda pusaka seperti sehelai kertas halus bergambar Hian Thiam Siang, sebilah pedang Tiongkok, satu tempat abu, dan satu jilid buku pengobatan dan ramalan,” tutur Handayati.
          Setiba di Semarang, Tan Siang Boe mendapat kabar jika saudara tuanya ada di daerah Welahan Jepara. Maka segeralah dia menuju ke Welahan untuk menjumpai Tan Siang Djie di tempat tersebut. 
Mereka kemudian berkumpul dalam satu rumah dengan keluarga Liem Tjoe Tien. Sampai sekarang rumah tersebut masih ada terletak di Gang Pinggir Welahan, dan dipergunakan sebagai tempat menyimpan pusaka kuno. “Pada saat itu banyak kejadian aneh, ketika pusaka kuno ditempatkan di rumah tersebut,” terang Handayati lebih lanjut. Hingga pada suatu hari, imbuhnya, Lie Tjoe Tien sakit keras dan penyakitnya dapat disembuhkan kembali dengan kekuatan ghaib yang ada di pusaka tersebut. Dengan kejadian itu, maka dari percakapan mulut ke mulut pusaka itu dikenal namanya. Bahkan Tan Siang Hoe dan Tan Siang Djie dianggap sebagai orang yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Mereka kemudian membangun Kelenteng Welahan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan serta meminta perlindungan setiap mereka mengobati orang.
          Sampai saat ini dipercayai, jika pusaka kuno Tongkok itu adalah yang partama dan satu-satunya          ada di Indonesia. Dari keberadaan pusaka kuno itulah, klenteng Dewa Langit Hian Thian Siang Tee dan Klenteng Dewa Bumi Fu De Zhang Shen ini diketahui sebagai klenteng tertua di Indonesia.
Hingga sekarang, warga keturunan Tionghoa mempercayai, setiap tanggal 3 bulan 3 penanggalan China, diperingati sebagai hari lahir sha gwe, yakni hari Imlex Seng Tam Djiet dari Hian Thiam Siang Tee. Pada perayaan tersebut, seperti dikatakan Suwoto (50) tidak hanya melibatkan warga keturunan, namun warga peribumi pun turut ambil bagian. “Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat sekitar klenteng merasa ikut memiliki dan mendapat limpahan rejeki dengan berjualan pada perayaan tersebut,” tutur Suwoto.
          Sebelum peringatan imlek Seng Tam Djiet dari Hian Thiam Siang Tee, pada tanggal 1 sha gwe penanggalan China, diadakan prosesi arak-arakan para dewa,  yang ditandu dengan iringan musik khas negeri tirai bambu. Prosesi itu menjadi tontonan menarik warga sekitar klenteng. Bahkan yang terlibat dalam kirab tidak hanya warga Jepara. Banyak warga dari luar daerah turut serta meramaikan prosesi arak-arakan ini. “Mereka yang berpartisipasi tidak kami undang, tetapi datang sendiri dari berbagai klenteng di Indonesia,” terang Suwoto. Kirab ini dilakukan berkeliling kampung, dengan maksud agar klenteng dan lingkungan sekitar diberi keberkahan dan keamanan.
Meski klenteng Hian Thian Siang Tee dan Fu De Zhang Shen berada di tengah-tengah pemukiman warga yang mayoritas memeluk agama Islam, namun toleransi antar umat beragama tercipta dengan damai dan rukun. Bahkan, sejumlah warga sekitar klenteng sebelum memulai musim tanam padi, banyak yang berkonsultasi dengan pengelola klenteng untuk menentukan hari baik dalam memulai menanam padi.
Selain itu, klenteng Hian Thian Siang Tee seringkali menjadi rujukan bagi warga yang sedang sakit. Biasanya para warga sekitar dan luar kota datang ke klenteng Hian Thian Siang Tee
, untuk meminta resep pengobatan ramuan China kuno.
“Ada tiga jenis tingkatan resep, mulai dari resep untuk sakit ringan, sakit yang agak berat, dan sakit yang menentukan antara hidup dan mati
,” terang Handayati.
Untuk menuju lokasi bersejarah yag letaknya sekitar 24 kilometer dari pusat kota Jepara ini sangatlah mudah. Sealin jalan yang sudah beraspal sehingga bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, banyak angkutan umum yang bisa mengantar ke lokasi. Hal ini dikarenakan tempat ke dua klenteng tersebut berdekatan dengan pasar Welahan. Selain itu, di klenteng Hian Thian Siang Tee juga tersedia penginapan untuk umum. “Memang penginapan kami sediakan untuk umum dan gratis. Akan tetapi dari fihak pengelola ada persyaratan tersendiri bagi yang ingin menginap,” pungkas Suwoto. (nugroho)