Friday, October 28, 2011

SUKSES DENGAN JAMUR MERANG

Jamur merang dengan media tanam limbah Kapas

Pati.Menggunakan sedikit modal akan tetapi bisa mendapatkan keuntungan maksimal itulah salah satu prinsip yang selalu dipegang dan diterapkan oeh Wiwid Hartoko (30), warga desa Telogorejo, Kecamatan Telogowungu Kabupaten Pati Jawa tengah dalam memulai usahanya. Sekitar dua tahun terakhir ini, pria yang enggan untuk menjadi pegawai negeri ini berkutat dengan usaha budidaya Jamur Merang.
          Ada yang berbeda dalam pembudidayaan jamur tersebut. Jika selama ini kebanyakan orang melakukan pembudidayaan Jamur merang dengan menggunakan media jerami atau merang, namun lain halnya dengan yang dilakukan Wiwid, dalam melakukan pembudidayaan dia memanfaatkan sisa olahan Kapuk atau kapas yang memang banyak di Pati. “Mulanya saya sering melihat sisa olahan kapuk yang terbuang sia-sia. Dalam benak saya, ini pasti bisa dimanfaatkan,” tuturnya saat ditemui Cempaka di rumahnya, Selasa (15/2). Selain itu dia juga belajar dengan seorang yang telah terbilang sukses dengan usaha serupa.
          Menurut pria yang juga memiliki kegemaran di bidang otomotif  ini, budidaya jamur dengan menggunakan media sisa olahan kapuk sangatlah efektif dalam berbagai hal, terutama dalam permodalan dan perawatannya. “Dengan media ini tidak perlu nyelup tiap hari. Lain halnya kalau menggunakan jerami, sangat ribet dan buang waktu,” imbuhnya. Selain itu, proses pengomposannya pun lebih singkat, dengan demikian masa panennya lebih cepat. Jika menggunakan jerami, dari proses awal pembuatan hingga mencapai usia panen membutuhkan waktu sekitar 20 hari, sedangkan dengan menggunakan sisa olahan kapuk hanya membutuhkan waktu 10 hari.
Hingga saat ini Wiwid masih terus berusaha mengembangkan usahanya tersebut. Lima Kumbung ( rumah jamur ) dengan masing-masing Kumbung terdapat dua deret rak (bedengan) bertingkat lima, sebagai tempat meletakkan media tumbuh merupakan modal awal dalam menjalani usahanya tersebut. Kumbung itu pun dibuat sangat sederhana, yaitu dari bambu dengan dinding dari plastik. “Intinya agar suhu dalam ruangan bisa mencapai antara 30 – 38 derajad celcius, dimana jamur ini bisa tumbuh dan berkembang,” paparnya. Meski dia mengaku tidak menemukan kendala dalam melakukan pembudidayaan jamur merang selama ini, namun tantangan terberat adalah harus siap untuk bangun pagi. Hal ini dikarenakan setiap jam 04.00 jamur sudah mulai siap panen. “Jika bangun kesiangan, sudah pasti jamur gagal panen karena kuncup telah mekar, meski masih bisa dimakan, namun nilai ekonomisnya akan turun,” imbuhnya. Jamur merang biasanya diminati saat kuncupnya belum mekar, masih berbentuk bulat dengan warna putih kecoklatan.

Penyiraman untuk menjaga kelembaban media tanam
Salah seorang karyawan sedang memanen Jamur
Setiap hari Wiwid dengan dibantu lima orang karyawannya selalu memanen jamur tersebut, dalam 20 – 30 hari mereka mengaku berhasil panen sebanyak 300kg jamur. “Harga jual per kilo setelah dikemas hanya
Rp. 17 ribu,” jelasnya. Paling tidak dalam sebulan mereka mendapatkan hasil kotor dari penjualan sebesar lima juta seratus ribu rupiah. “Setelah dipotong biaya operasional bulanan kami mendapat untung bersih sekitar dua juta delapan ratus ribu,” terang pria yang senang bercanda ini. Untuk pemasaran jamur tersebut sementara ini masih di sekitar karesidenan Pati.
Meski demikian Wiwid mengaku masih belum mampu mencukupi permintaan pasar akan jamur merang. “Sebenarnya sudah ada permintaan dari sebuah perusahaan multi nasional yang akan membeli jamur kami, tapi sampai saat ini untuk memenuhi permintaan pasar lokal saja masih belum mencukupi,” terangnya. Ditambahkan bahwa kerjasama dengan perusahaan tersebut rencananya yang akan menampung produksi jamurnya kemudian akan dieksport. Terkait akan hal tersebut, pria yang lebih senang tinggal di desa ini berusaha menambah kumbung untuk meningkatkan kapasitas produksi jamurnya, sehingga dapat memenuhi semua permintaan.
          Melihat kenyataan yang ada, jamur merang yang dibudidayakan dengan menggunakan limbah kapas ini memang sangat menjanjikan hasilnya. Selain modal yang kecil untuk memulai usaha tersebut, daya jualnya sangat tinggi di pasaran, jamur ini juga berkualitas eksport. Selain itu, limbah dari median yang sudah tidak terpakai juga bisa dimanfaatkan untuk diolah kembali dijadikan pupuk kompos.
  
Wiwit tidak segan ikut memanen Jamur

Jamur merang Andalan, demikian Wiwid memberi nama jamur yang sudah dikemas dan siap dipasarkan tersebut, pembudidayaannya memanfaatkan lahan di belakang rumahnya yang sangat luas. Dengan tenaga kerja para pemuda di desanya. “Saya sengaja membuat lapangan pekerjaan bagi pemuda di desa saya,” tuturnya. Pria berputra dua ini juga tidak segan turun tangan sendiri ikut memanen jamur bersama para pekerjanya. Ada alasan tersendiri mengapa dia ikut turun tangan langsung, alasannya agar bisa memantau kualitas jamur yang dibudidayakan secara langsung. Bahkan tidak jarang, menurut penuturannya para pembeli, yang kebanyakan pedagang ikut membantu membersihkan dan mengupas jamur yang telah di panen. “Suasana akrab dan tanpa jarak ini memang sengaja saya buat agar mereka merasa nyaman saat bekerja dan datang ke sini,” jelasnya lebih lanjut.
          Berkat kegigihannya dalam berusaha, pria yang merasa nyaman hidup di desa ini mampu mendapatkan hasil yang lumayan, bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pemuda di lingkungannya. (nugroho)

No comments:

Post a Comment